Batik Yogyakarta ada pada masa kerajaan Mataram Islam oleh Panembahan Senopati.
Setelah memindahkan pusat kerajaan dari Demak ke Mataram, ia sering bertapa di sepanjang pesisir Pulau Jawa, antara lain Parangkusuma menuju Dlepih Parang Gupito, menelasuri tebing Pegunungan Seribu yang tampak seperti “pereng” atau tebing berbaris.
Panembahan menguasai seni sehingga dia menciptakan pola batik lereng atau parang. Batik ini merupakan ciri ageman Mataram yang berbeda dengan pola batik sebelumnya.
Semenjak perjanjian Giyanti tahun 1755 yang melahirkan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, segala macam tata adibusana termasuk di dalamnya adalah batik, diserahkan sepenuhnya oleh Kraton Surakarta kepada Kraton Yogyakarta.
Hal inilah yang kemudian menjadikan kraton Yogyakarta menjadi kiblat perkembangan budaya, termasuk pula khazanah batik. Motif pakem batik Surakarta tetap bersumber pada motif batik Kraton Yogyakarta.
Pada tahun 1813, muncul Kadipaten Pakualaman di Yogyakarta akibat persengketaan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Letnan Gubernur Inggris Thomas Stamford Raffles. Karena perpecahan tersebut maka lahirlah perbedaan mencolok pada perkembangan motif batik.
Batik di Kasultanan Yogyakarta mempunyai ciri khas dalam tampilan warna dasar putih yang mencolok bersih.
Pola geometri kraton Kasultanan Yogyakarta sangat khas, besar-besar, dan sebagian diantaranya diperkaya dengan parang dan nitik.
Sedangkan batik di Puro Pakualaman merupakan perpaduan antara pola batik Kraton Kasultanan Yogyakarta dan warna batik Kraton Surakarta. Warna putih kecoklatan atau krem menjadi ciri khas batik Kraton Surakarta.
Dua pola batik yang terkenal dari Puro Pakulaman adalah pola Candi Baruna yang tekenal sejak sebelum tahun 1920 dan Peksi Manyuro. Sedangkan pola batik Kasultanan yang terkenal, antara lain: Ceplok Blah Kedaton, Kawung, Tambal Nitik, Parang Barong Bintang Leider, dan sebagainya.
Semoga bermanfaat ^-^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar